Pagi ini Rabu, 2 Mei 2012 saya mengikuti upacara bendera dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, saat yang paling ditunggu-tunggu adalah saat pembina upacara memberikan amanat kepada seluruh peserta upacara, nah tema upacara pada waktu itu adalah MEMBANGKITKAN GENERASI EMAS INDONESIA.
Populasi usia produktif juga disinggung oleh pak mendikbud, dan
akan menjadi bonus demograsi yang sangat berharga dari 2010 sampai 2035
untuk membangun generasi emas. Pemerintah telah menyiapkan kebijakan
yang sistematis, yang memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal secara
masif. Untuk itu, mulai tahun 2011 telah dilakukan gerakan pendidikan
anak usia dini (PAUD), penuntasan dan peningkatan kualitas pendidikan
dasar, penyiapan pendidikan menengah universal (PMU) yang insya Allah
akan dimulai tahun 2013.
Di samping itu, perluasan akses ke perguruan tinggi juga
disiapkan melalui pendirian perguruan tinggi negeri di daerah perbatasan
dan memberikan akses secara khusus kepada masyarakat yang memiliki
keterbatasan kemampuan ekonomi, tetapi berkemampuan akademik.
Sambutan pak Nuh diakhiri dengan sebuah pesan ”Semai dan
tanamlah biji dari tumbuhan yang kamu miliki meskipun kamu tahu esok
akan mati.” dan “Siapa yang menanam, dia yang akan memetik”. Marilah kita berlomba-lomba menanam kebaikan.
Membaca 2 artikel di kompas tentang pendidikan, dan sambutan pak
Mendikbud di hari pendidikan nasional di atas membuat saya terpicu untuk
menambahkan sedikit pemikiran tentang pentingnya membangkitkan generasi
emas Indonesia.
Apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini jelas belum
merakyat. Saya pun bersetuju dengan apa yang dituliskan ketua Litbang PB
PGRI, Mohammad Abduhzen. Rakyat miskin masih belum bisa sekolah di
tempat yang layak. Apalagi kebijakan RSBI yang hanya berpihak kepada si
kaya membuat pemerintah harus merefleksi ulang program ini. Tenaga
pengajar asing yang gajinya lebih besar dari tenaga pengajar negeri
sendiri menimbulkan kecemburuan. Seolah-olah guru import lebih baik dari
guru domestik. Dalam bahasa yang sangat sederhana, pelayanan pendidikan
di negeri ini belum berpihak kepada semua. Education for all
yang dikampanyekan hanya sekedar kampanye belaka. Faktanya banyak anak
usia sekolah terpaksa tidak bisa sekolah. Pendidikan multikultural belum
berjalan dengan maksimal.
Kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan harus segera
dievaluasi, dan seyogyanya pemerintah tidak tuli mendengarkan aspirasi
dari rakyat yang menuntut keadilan. Sarana dan prasarana mesti
diperhatikan. Jangan sampai peserta didik harus bertaruh nyawa untuk
bisa pergi ke sekolah. Apa yang terjadi di Propinsi Banten, dimana
anak-anak harus menantang maut melewati jembatan yang rusak menjadi
pembelajaran bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memperhatikan sarana
dan prasarana masyarakat umum.
Untuk membangkitkan generasi emas, perlu ada keteladanan dari para orang
tua. Apa yang terjadi di masyarakat saat ini seperti kasus
kriminalitas, dan penyalahgunaan Narkotika, merupakan cambuk bagi para
orang tua dan guru untuk mendidik putra-putrinya lebih baik lagi. Sudah
saatnya kita memulainya dari pendidikan dalam keluarga. Tak bisa begitu
saja orang tua menyerahkannya kepada sekolah. Pendidikan yang utama
tetap dikendalikan orang tuanya, dan anak harus mendapatkan pelayanan
pendidikan yang layak dari pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan,
budi pekerti yang luhur, dan keterampilannya. Semua itu telah
tertuliskan pada tujuan pendidikan nasional yang sering dituliskan.
Mahalnya biaya pendidikan membuat pemerintah harus memikirkan agar si
miskin bisa sekolah. Selama ini si kaya masih mendapatkan pelayanan
prima, sedangkan si miskin harus dengan sabar menerima pelayanan
pendidikan apa adanya. Pada akhirnya anak-anak yang kurang mampu
berpikir, buat apa sekolah kalau sekolah mahal. Lebih baik cari duit
buat makan.
Ada lagi yang sangat memprihatinkan dalam dunia pendidikan kita.
Pendidikan kewirausahaan kurang tertanamkan dengan baik di
sekolah-sekolah kita. Pada akhirnya, sekolah hanya melahirkan
pengangguran terdidik karena lulusan hanya mampu menjawab soal-soal
ujian nasional (UN) sampai “muntah”. Pendalaman materi dilakukan, Tryout
UN dilakukan berkali-kali, sampai pemerintah daerah pun ikut-ikutan
membuat soal Tes Uji Kemampuan Peserta Didik (TUKPD) yang membikin siswa
jadi gak pede.
Seolah-olah mereka yang lulus UN dengan nilai terbaik
akan jauh lebih unggul nasibnya dengan mereka yang nilai UN-nya
pas-pas-an. Seolah-olah nasib peserta didik hanya dilihat dan dilirik
dari nilai UN-nya saja.
Sistem pendidikan kita masih harus disempurnakan. UN sebaiknya hanya
pemetaan saja selama pemerintah belum memiliki sarana dan prasarana yang
memadai. SDM guru yang berkualitas masih belum merata, pada akhirnya
lulusan di daerah tertentu untuk SD, SMP/MTs, dan SMA/SMA/MA kurang
menggembirakan hasilnya. Ketika pemerintah tahu daerah yang tertinggal
itu seharusnya segera dilakukan pembinaan dan perbaikan. Namun nyatanya
hanya sebatas pengumpulan data saja. Lagi-lagi UN tetap dilakukan
seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Gerah dan gemes hati ini bila melihat dana pendidikan yang begitu besar
tak tersalurkan tepat sasaran. Ingin rasanya memberikan masukan atau
data yang benar bahwa pendidikan gratis yang didengungkan selama ini
belum berjalan dengan baik. Data yang dituliskan oleh Tracey
Yaniharjatanaya di kolom opini kompas hari ini menunjukkan bahwa 13 %
murid SD tidak menyelesaikan pendidikan. Bagaimana mungkin kita akan
membangkitkan generasi emas bila generasi pembangkitnya memble dan
terjangkit masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme?
Generasi emas Indonesia harus dibangkitkan dalam bidang pendidikan.
Pendidikan yang benar tidak mengenal status sosial atau kasta. Tidak
boleh ada kastanisasi di sekolah-sekolah kita. Semua orang wajib sekolah
dan mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. Semua rakyat
Indonesia harus mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan
ketentuan UUD 1945.
Di hari pendidikan nasional sekarang ini, mari kita semua merefleksi
diri. Hindarkan pertengkaran yang membawa perkelahian. Mari kita
bergandengan tangan untuk membangkitkan generasi emas Indonesia. Bila
pemerintah diberikan masukan yang baik tetap tenang-tenang saja, mari
kita mulai dari pendidikan dalam keluarga kita. Tularkan pendidikan yang
baik kepada sekitar kita, dan kembangkan terus pendidikan kewirausahaan
dan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah kita.
Bagus gan artikelnya..
BalasHapusAyo ikuti lomba cerdas cermat online seri2 dan menangkan hadiahnya
Terimakasih kak.
HapusWaduh kak, saya baru baca komen kakak sekarang. Sudah telat banget hehe