Akhir-akhir ini pikiran saya rumit, semua hal aku
pertanyakan. Mengapa hidupku seberat ini. dalam hal ini aku ndak memandang
masalah yang dihadapi orang lain lebih ringan daripada yang kuhadapi ya.
Ego ku meronta-ronta minta untuk dipuaskan. Aku manusia juga
sama sepertimu. Selama hampir seminggu ndak bisa tenang, hidup dengan pikiran
yang kacau.
Hari ini, aku akan menceritakan sesuatu yang kupelajari dari
sebuah buku. Fokus yang ingin kusampaikan adalah isi buku + penulisnya, keduanya
sangat menarik perhatianku.
Mungkin ini akan terlihat seperti review buku, atau
testimoni setelah membaca sebuah buku hehe. Btw, ini review buku pertamaku yang
aku tulis di blog ini. Oke langsung saja ya.
Ketika tulisan ini dibuat, aku telah selesai membaca Buku
yang berjudul “Setiap Waktu Adalah Waktu Belajar” karya dari Gobind Vashdev. Beliau
adalah seseorang yang mengusahakan hidup dan empatinya mati-matian untuk
kebahagiaan orang lain, beliau menyebut dirinya sebagai heartworker. Aku sangat kagum sama beliau ini, hatinya baik dan mau
untuk terus belajar dari dunia ini (ndak terbatas Cuma belajar di sekolah atau
di kuliah saja).
Dalam bukunya, Pak Govind menuliskan sebuah perumpamaan
tentang seorang pembelajar. Beliau menganalogikannya dengan sebuah botol berisi
air dan gelas. Botol mewakili guru, air mewakili ilmu, dan gelas mewakili kita
(pembelajar). Bagaimana cara agar gelas tersebut dapat menerima dan menampung
air dari botol tersebut? ayo coba dipikir dulu :p
Pertama, si gelas harus terbuka
Ketika gelas tersebut terbuka, sudah pasti air dari botol
dapat ditampungnya. Ketika gelas itu tertutup, mana mungkin bisa menampung air
dari botol kan. Yang ada, airnya malah tumpah dan membasahi meja hingga lantai
hehe. Disini aku belajar bahwa ketika seseorang ingin memperoleh dan menyerap
ilmu dia harus memiliki pikiran yang terbuka. Mampu menerima pendapat dari
orang lain dan mampu menerima pelajaran dari alam semesta.
Kedua, gelas itu harus kosong
Bagian kedua ini berhubungan dengan bagian pertama. Kalau bagian
pertama itu berupa jalan keluar-masuknya informasi, maka bagian kedua ini
berupa wadah dari informasi yang didapat. Kamu bisa membayangkan kan bagaimana
kalau gelasnya ternyata penuh (misal isinya sirup), sudah dapat dipastikan
bahwa air dalam botol ndak akan bisa ditampung kan sama gelas itu.
Sama seperti gelas itu, kalau pikiran kita masih penuh
dengan pemikiran-pemikiran yang rumit sudah pasti pengetahuan atau informasi
yang disampaikan oleh guru-guru kita ndak akan bisa kita simpan karena wadah
(re: pikiran) yang kita punya ndak cukup buat menampungnya.
Jadi, yang kudapat dari bagian ini adalah ketika kita
menerima ilmu dari orang lain pastikan bahwa kita mengesampingkan presepsi dan
asumsi yang kita miliki. Just do and enjoy it. Supaya kita punya cukup tempat di
pikiran kita untuk menyimpan pengetahuan baru itu.
Ketiga, posisi gelasnya harus lebih rendah daripada botol
Kebayang ndak sih, misal si botol lebih rendah daripada
gelas? Airnya ndak akan bisa ngalir ke gelas kan. Itu juga yang aku pelajari,
bahwa kita sebagai pembelajar menganggap bahwa diri kita ini belum ada
apa-apanya daripada guru kita. Maka dari itu, keingintahuan kita (curiousity) kita mesti bakal tinggi dan
akan makin banyak hal yang kita peroleh. Pak Govind juga memberikan contoh
bahwa kita bisa belajar dari anak-anak yang punya rasa keingintahuan yang
tinggi sehingga mereka mampu belajar banyak hal (jelas, masa anak-anak adalah
masa dimana kita sangat banyak belajar). Setelah dewasa, rasa keingintahuan itu
mulai menurun karena mungkin adanya pikiran bahwa semua hal terjadi karena
memang sudah sewajarnya seperti itu.
Selanjutnya adalah pengajar (guru). Sebenarnya siapakah guru
itu? dan dimana guru itu mengajar? Ada salah satu kalimat yang aku suka
“Kita bisa belajar dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja termasuk dengan alam”
Jadi guru kita siapa? Semua orang termasuk alam, merekalah
guru kita. Dimana kita belajar dan kapan? Kapanpun dan dimanapun selagi kita
masih di alam semesta ini kita dapat terus belajar.
Ada lagi kutipan yang aku suka dari Sang Buddha
“pada akhirnya kita akan sangat-sangat berterima kasih kepada orang-orang yang membuat diri ini sulit”
Benar sekali, aku jadi teringat tentang kejadian yang
terjadi padaku saat smp. Aku diejek karena penampilan fisikku ndak seperti
teman-teman yang lain, karena aku beda etnis dengan teman-teman. Setelah itu,
aku belajar untuk ndak akan seperti mereka yang membeda-bedakan etnis, sebisa
mungkin untuk bergaul dengan siapa saja.
Dari situ kita belajar bahwa dengan dipertemukannya kita
dengan orang yang berbeda dan membuat kita ndak nyaman, ternyata kita mendapat
suatu pelajaran dari situ yang akhirnya berpengaruh terhadap pola pikir kita
terhadap hidup ini. So thanks to all of
you my junior high school friends, now I can say I do love you.
Clossing statement from Mr. Govind Vashdev
“Jadikan setiap orang menjadi guru, setiap tempat menjadi sekolah dan setiap jam adalah jam pelajaran.”